Entri Populer

Kamis, 05 Juli 2012

Asal Mula Huruf Jawa

Pada suatu hari datanglah seorang pertapa yang masih muda bernama Aji Saka dari Hindustan. Aji Saka disertai dua orang abdinya pergi melawat ke Tanah Jawa. Ia bersama dua abdinya menjelajahi masuk kota dan desa. Kedatangan di Tanah Jawa bermaksud menyebarkan ilmu pengetahuan.
Suatu ketika ia bersama kedua abdinya ke negara Medang, tetapi dalam perjalanannya mereka bertiga singgah terlebih dahulu ke pegunungan Kendeng. Aji Saka berkata kepada Sembada, abdinya. Katanya,”Sembada! Besok saya akan ke Medang, dan keris pusakaku ini saya tinggal di sini. Kupercayakan keris pusakaku kepadamu. Siapapun yang datang meminta, jangan kauberi. Bila aku memerlukan akan saya ambil sendiri. Ingatlah pesanku!”
Selesai berbicara, berangkatlah Aji Saka ke negeri Medang seorang diri. Sampailah Aji Saka di negeri Medang.
Aji Saka tiba di desa terpencil. Ia bertamu ke rumah seorang janda tua bernama Mbok Rondo Sengkeran.
Ia bertanya kepada Mbok Rondo, “Apakah di sini negeri Medang?”
Jawab Mbok Rondo, “Betul! Tuan dari mana? Dan apa maksud Tuan datang di tempat ini?”
Jawab Aji Saka, “Aku seorang kelana dari jauh. Aku datang di negeri ini hanyalah melihat-lihat keluhuran negeri Medang. Apabila mungkin, aku ingin mengabdi kepada Sang Pabu!”
Berkata si janda tua, “Tuan, janganlah engkau mengabdi kepada Sang Prabu. Sebab Sang Prabu gemar makan daging manusia. Lihatlah! Tempat ini kosong, penduduk banyak mengungsi karena takut. Saya ini masih hidup karena usia saya sudah tua, daging saya sudah a lot. Tuan masih muda, jangan mendekati Sang Prabu. Tuan pasti akan dimakannya.”
Begitulah untuk sementara Aji Saka tinggal di rumah Mbok Rondo Sengkeran.
Setiap hari Sang Baginda menyantap daging manusia. Dan setiap hari pula kerja patih kerajaan Medang mencarikan seorang sebagai persembahan kepada Baginda.
Aji Saka ternyata seorang yang sakti. Ketika para penduduk yang ketakutan berlari mengungsi, ia meminta para penduduk itu tinggal bersamanya di rumah Mbok Rondo Sengkeran.
Sekali lagi si janda tua tersebut mengingatkan kepada Aji Saka. “Urungkanlah niat Tuan. Lebih baik tinggalkanlah tempat ini!” katan Mbok Rondo.
Berkatalah Aji Saka, “ Mbok, kau tidak usah merisaukan keselamatan diriku! Tolong antarkan aku ke rumah patih agar nanti diantar menghadap Sang Prabu.”
Mbok Rondo Sengkeran mengantar Aji Saka menghadap Patih. Di hadapan Patih, Aji Saka mengutarakan maksudnya ingin mengabdi kepada Sang Prabu. Sang Patih melihat Aji Saka tertegun karena sikap baiknya. Memang Aji Saka seorang pemuda yang bijaksana lagi tampan. Dalam benak Sang Patih, ia merasa saying bila Aji Saka diserahkan kepada Sang Prabu.
Kata Sang Patih, “baiklah! Engkau akan kuhadapkan kepada Sang Prabu. Engkau harus tahu tugasmu nanti. Karena tidak mudah mengabdi kepada Sang Baginda Raja Medang.”
Jawab Aji Saka, “Hamba tidak gentar berhadapan dengan Sang Baginda! Hamba tetap pada pendirian semula, yaitu akan mengabdi kepada Sang Prabu. Apabila hamba tidak mati apakah hamba dapat minta hadiah sebidang tanah seluas sorban (ikat kepala) ini?”
Sang Patih menyanggupi permintaan Aji Saka. Lalu diajaklah Aji Saka ke istana. Sewaktu makan, Aji Saka mengubah dirinya menjadi seorang kanak-kanak yang cantik. Sang Prabu sangat senang melihatnya. Kanak-kanak tadi ditimangnya. Saat menimang tersebut, Sang Prabu bernafsu untuk melahapnya. Tetapi, Aji Saka yang sakti dengan cekatan memegang bibir atas dan bibir bawah, lalu disobeklah mulut Raja Medang hingga meninggal.
Setelah peristiwa tewasnya Sang Baginda, Aji Saka berubah wujud seperti semula. Aji Saka pergi ke ruma Patih memberitahukan bahwa Sang Baginda telah mati terbunuh. Senanglah hati Sang Patih mendengar laporan Aji Saka.
Kemudian Aji Saka menagih janji kepada Sang Patih. Ikat kepalanya dilepas dan dibentangkan di atas tanah. Ikat kepala semakin melebar, meluas hingga meliputi desa dan kota, hutan, gunung, lembah dan ngarai. Akhirnya seluruh kerajaan Medang menjadi miliknya.
Sang Patih tidak dapat berbuat apa pun. Rakyat Medang merasa lega karena raja yang gemar makan daging manusia telah tewas. Rakyat berterima kasih kepada Aji Saka yang telah membebaskan rakyat dari kebengisan rajanya. Akhirnya Aji Saka dinobatkan sebagai raja di Medang.
Penduduk yang mengungsi ke daerah lain kembali ke rumah mereka masing-masing. Mereka mulai mengolah sawah, menanami lading. Sungguh menjadi tempat yang ramai. Di bawah pemerintahan Raja Aji Saka, negara Medang mengalami masa kejayaan. Rakyat hidup dengan tenteram. Teringatlah Aji Saka akan kerisnya.
Dipanggilnya Dora. Aji Saka berkata, “Hai, Dora! Pergilah kau ke pegunungan Kendeng! Ambillah kerisku! Katakan bahwa aku sedang sibuk!”
Jawab Dora, “Ya, Tuanku! Hamba siap berangkat.”
Pergilah Dora ke pegunungan Kendeng. Sesampai di tempat, Dora memberi salam kepada Sembada. Dan keduanya asyik berdialog melepaskan rindu. Kemudian Dora menyampaikan maksud kedatangannya diutus Aji Saka untuk mengambil keris pusaka milik tuannya itu.”
Mendengar maksud kedatangan Dora, dengan tegas Sembada menolaknya. Kata Sembada,”Pesan Tuanku Aji Saka, bahwa keris pusaka ini tidak boleh diberikan kepada siapapun. Bila Tuanku memerlukan ia pasti akan datang sendiri ke tempat ini. Dan lagi tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum Tuanku datang!”
Demikianlah pula Dora merasa bahwa ia mendapat tugas dari Tuannya. Ia tidak mengada-ada.
“Aku membawa surat kuasa bukti perintah Baginda”, Kata Dora.
“Aku tak peduli, aku tetap berpendirian bahwa pesan dan amanat Baginda Aji Saka kepadaku harus kupegang teguh, bahwa siapapun tak berhak mengambil keris pusaka milik Baginda kecuali Baginda sendiri.”
“Aduh Kakang Sembada, aku terpaksa menggunakan jalan kekerasan.”
“Aku tidak menyalahkanmu Dora, aku tetap akan mempertahankan pusaka ini.”
Kedua abdi tersebut saling mempertahankan perintah Aji Saka, keduanya tidak mau mengalah. Akhirnya terjadilah baku hantam di antara keduanya. Kedua abdi tersebut, Dora dan Sembada adu kekuatan, adu kepandaian, dan adu kesaktian. Memang kedua abdi tersebut sama-sama sakti.
Keduanya sama-sama unggul. Adu kesaktian kedua abdi itu mengakibatkan keduanya tewas. Mereka masing-masing mempertahankan perintah Tuannya. Lebih baik mati daripada mengkhianati perintah Tuannya.
Utusan Aji Saka lama tak kembali. Khawatirlah Aji Saka dan cemas menanti kedatangan abdi yang setia, Dora dan Sembada tak kunjung datang. Akhirnya Aji Saka meninggalkan istana pergi ke pegunungan Kendeng untuk menyusul Dora dan Sembada. Setelah sampai di pegunungan Kendeng, terkejutlah Aji Saka melihat mayat Dora dan Sembada tergeletak di tanah.
Ingatlah Aji Saka apa yang pernah dipesankan pada Sembada. Dora dan Sembada, kedua abdi kesayangannya tewas demi tugas yang diembannya. Kematian mereka berdua sebagai bukti kesetiaan dan kepatuhan terhadap Tuannya. Dengan kematian dua abdi setia, Aji Saka menciptakan huruf-huruf untuk mengabadikan kesetiaan dua abdi dalam melaksanakan tugas. Huruf Jawa tersebut dikenal dengan Carakan.
Sususnan huruf Jawa tersebut, sebagai berikut:

Ha na ca ra ka = Ada utusan
da ta sa wa la = pada bertengkar
pa dha jay a nya = sama saktinya
ma ga ba tha nga = mati bersama
 
 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar