Pada
suatu hari datanglah seorang pertapa yang masih muda bernama Aji Saka
dari Hindustan. Aji Saka disertai dua orang abdinya pergi melawat ke
Tanah Jawa. Ia bersama dua abdinya menjelajahi masuk kota dan desa.
Kedatangan di Tanah Jawa bermaksud menyebarkan ilmu pengetahuan.
Suatu
ketika ia bersama kedua abdinya ke negara Medang, tetapi dalam
perjalanannya mereka bertiga singgah terlebih dahulu ke pegunungan
Kendeng. Aji Saka berkata kepada Sembada, abdinya. Katanya,”Sembada!
Besok saya akan ke Medang, dan keris pusakaku ini saya tinggal di sini.
Kupercayakan keris pusakaku kepadamu. Siapapun yang datang meminta,
jangan kauberi. Bila aku memerlukan akan saya ambil sendiri. Ingatlah
pesanku!”
Selesai berbicara, berangkatlah Aji Saka ke negeri Medang seorang diri. Sampailah Aji Saka di negeri Medang.
Aji Saka tiba di desa terpencil. Ia bertamu ke rumah seorang janda tua bernama Mbok Rondo Sengkeran.
Ia bertanya kepada Mbok Rondo, “Apakah di sini negeri Medang?”
Jawab Mbok Rondo, “Betul! Tuan dari mana? Dan apa maksud Tuan datang di tempat ini?”
Jawab
Aji Saka, “Aku seorang kelana dari jauh. Aku datang di negeri ini
hanyalah melihat-lihat keluhuran negeri Medang. Apabila mungkin, aku
ingin mengabdi kepada Sang Pabu!”
Berkata
si janda tua, “Tuan, janganlah engkau mengabdi kepada Sang Prabu. Sebab
Sang Prabu gemar makan daging manusia. Lihatlah! Tempat ini kosong,
penduduk banyak mengungsi karena takut. Saya ini masih hidup karena usia
saya sudah tua, daging saya sudah a lot. Tuan masih muda, jangan
mendekati Sang Prabu. Tuan pasti akan dimakannya.”
Begitulah untuk sementara Aji Saka tinggal di rumah Mbok Rondo Sengkeran.
Setiap
hari Sang Baginda menyantap daging manusia. Dan setiap hari pula kerja
patih kerajaan Medang mencarikan seorang sebagai persembahan kepada
Baginda.
Aji
Saka ternyata seorang yang sakti. Ketika para penduduk yang ketakutan
berlari mengungsi, ia meminta para penduduk itu tinggal bersamanya di
rumah Mbok Rondo Sengkeran.
Sekali
lagi si janda tua tersebut mengingatkan kepada Aji Saka. “Urungkanlah
niat Tuan. Lebih baik tinggalkanlah tempat ini!” katan Mbok Rondo.
Berkatalah
Aji Saka, “ Mbok, kau tidak usah merisaukan keselamatan diriku! Tolong
antarkan aku ke rumah patih agar nanti diantar menghadap Sang Prabu.”
Mbok
Rondo Sengkeran mengantar Aji Saka menghadap Patih. Di hadapan Patih,
Aji Saka mengutarakan maksudnya ingin mengabdi kepada Sang Prabu. Sang
Patih melihat Aji Saka tertegun karena sikap baiknya. Memang Aji Saka
seorang pemuda yang bijaksana lagi tampan. Dalam benak Sang Patih, ia
merasa saying bila Aji Saka diserahkan kepada Sang Prabu.
Kata
Sang Patih, “baiklah! Engkau akan kuhadapkan kepada Sang Prabu. Engkau
harus tahu tugasmu nanti. Karena tidak mudah mengabdi kepada Sang
Baginda Raja Medang.”
Jawab
Aji Saka, “Hamba tidak gentar berhadapan dengan Sang Baginda! Hamba
tetap pada pendirian semula, yaitu akan mengabdi kepada Sang Prabu.
Apabila hamba tidak mati apakah hamba dapat minta hadiah sebidang tanah
seluas sorban (ikat kepala) ini?”
Sang
Patih menyanggupi permintaan Aji Saka. Lalu diajaklah Aji Saka ke
istana. Sewaktu makan, Aji Saka mengubah dirinya menjadi seorang
kanak-kanak yang cantik. Sang Prabu sangat senang melihatnya.
Kanak-kanak tadi ditimangnya. Saat menimang tersebut, Sang Prabu
bernafsu untuk melahapnya. Tetapi, Aji Saka yang sakti dengan cekatan
memegang bibir atas dan bibir bawah, lalu disobeklah mulut Raja Medang
hingga meninggal.
Setelah
peristiwa tewasnya Sang Baginda, Aji Saka berubah wujud seperti semula.
Aji Saka pergi ke ruma Patih memberitahukan bahwa Sang Baginda telah
mati terbunuh. Senanglah hati Sang Patih mendengar laporan Aji Saka.
Kemudian
Aji Saka menagih janji kepada Sang Patih. Ikat kepalanya dilepas dan
dibentangkan di atas tanah. Ikat kepala semakin melebar, meluas hingga
meliputi desa dan kota, hutan, gunung, lembah dan ngarai. Akhirnya
seluruh kerajaan Medang menjadi miliknya.
Sang
Patih tidak dapat berbuat apa pun. Rakyat Medang merasa lega karena
raja yang gemar makan daging manusia telah tewas. Rakyat berterima kasih
kepada Aji Saka yang telah membebaskan rakyat dari kebengisan rajanya.
Akhirnya Aji Saka dinobatkan sebagai raja di Medang.
Penduduk
yang mengungsi ke daerah lain kembali ke rumah mereka masing-masing.
Mereka mulai mengolah sawah, menanami lading. Sungguh menjadi tempat
yang ramai. Di bawah pemerintahan Raja Aji Saka, negara Medang mengalami
masa kejayaan. Rakyat hidup dengan tenteram. Teringatlah Aji Saka akan
kerisnya.
Dipanggilnya
Dora. Aji Saka berkata, “Hai, Dora! Pergilah kau ke pegunungan Kendeng!
Ambillah kerisku! Katakan bahwa aku sedang sibuk!”
Jawab Dora, “Ya, Tuanku! Hamba siap berangkat.”
Pergilah
Dora ke pegunungan Kendeng. Sesampai di tempat, Dora memberi salam
kepada Sembada. Dan keduanya asyik berdialog melepaskan rindu. Kemudian
Dora menyampaikan maksud kedatangannya diutus Aji Saka untuk mengambil
keris pusaka milik tuannya itu.”
Mendengar
maksud kedatangan Dora, dengan tegas Sembada menolaknya. Kata
Sembada,”Pesan Tuanku Aji Saka, bahwa keris pusaka ini tidak boleh
diberikan kepada siapapun. Bila Tuanku memerlukan ia pasti akan datang
sendiri ke tempat ini. Dan lagi tidak boleh meninggalkan tempat ini
sebelum Tuanku datang!”
Demikianlah pula Dora merasa bahwa ia mendapat tugas dari Tuannya. Ia tidak mengada-ada.
“Aku membawa surat kuasa bukti perintah Baginda”, Kata Dora.
“Aku
tak peduli, aku tetap berpendirian bahwa pesan dan amanat Baginda Aji
Saka kepadaku harus kupegang teguh, bahwa siapapun tak berhak mengambil
keris pusaka milik Baginda kecuali Baginda sendiri.”
“Aduh Kakang Sembada, aku terpaksa menggunakan jalan kekerasan.”
“Aku tidak menyalahkanmu Dora, aku tetap akan mempertahankan pusaka ini.”
Kedua
abdi tersebut saling mempertahankan perintah Aji Saka, keduanya tidak
mau mengalah. Akhirnya terjadilah baku hantam di antara keduanya. Kedua
abdi tersebut, Dora dan Sembada adu kekuatan, adu kepandaian, dan adu
kesaktian. Memang kedua abdi tersebut sama-sama sakti.
Keduanya
sama-sama unggul. Adu kesaktian kedua abdi itu mengakibatkan keduanya
tewas. Mereka masing-masing mempertahankan perintah Tuannya. Lebih baik
mati daripada mengkhianati perintah Tuannya.
Utusan
Aji Saka lama tak kembali. Khawatirlah Aji Saka dan cemas menanti
kedatangan abdi yang setia, Dora dan Sembada tak kunjung datang.
Akhirnya Aji Saka meninggalkan istana pergi ke pegunungan Kendeng untuk
menyusul Dora dan Sembada. Setelah sampai di pegunungan Kendeng,
terkejutlah Aji Saka melihat mayat Dora dan Sembada tergeletak di tanah.
Ingatlah
Aji Saka apa yang pernah dipesankan pada Sembada. Dora dan Sembada,
kedua abdi kesayangannya tewas demi tugas yang diembannya. Kematian
mereka berdua sebagai bukti kesetiaan dan kepatuhan terhadap Tuannya.
Dengan kematian dua abdi setia, Aji Saka menciptakan huruf-huruf untuk
mengabadikan kesetiaan dua abdi dalam melaksanakan tugas. Huruf Jawa
tersebut dikenal dengan Carakan.
Sususnan huruf Jawa tersebut, sebagai berikut:
Ha na ca ra ka = Ada utusan
da ta sa wa la = pada bertengkar
pa dha jay a nya = sama saktinya
ma ga ba tha nga = mati bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar